Ilustrasi sumber foto Merdeka.com |
Pemimpin gereja ini, Pendeta James Warren Jones, awalnya sukses mengumpulkan banyak pengikut loyal karena mengkhotbahkan kesetaraan ras, kemandirian ekonomi, serta perlunya menciptakan utopia di muka bumi. Gereja ini menarik minat banyak orang miskin ataupun kaum muda yang menolak rasisme serta kapitalisme di Amerika menjelang akhir 1960-an.
Mereka mengembangkan kegiatan sosial, menyentuh dan berbaur dengan masyarakat. Sejak mulai ada ajakan pindah ke Jonestown di Guyana itulah, masyarakat AS mulai resah dengan People's Temple. Sebagian keluarga yang tidak terima anak atau suaminya pindah ke Guyana, melapor pada polisi. Muncul dugaan People's Temple menjual narkotika untuk memenuhi kebutuhan anggotanya.
Bencana pun terjadi. Rombongan Senator Ryan, dan sebagian anggota People's Temple yang ingin pulang, ditembaki oleh anak buah Pendeta Jones. Setidaknya lima orang tewas di bandara Jonestown, termasuk sang senator.
Hanya berselang beberapa jam setelah pembunuhan Senator Ryan, Jones memerintahkan seluruh pengikutnya bunuh diri menenggak sianida. "Kita bunuh diri sebagai cara revolusioner untuk memprotes betapa tidak adilnya dunia," kata Jones dalam pidato yang direkam, 45 menit menjelang bunuh diri massal.
Polisi menyatakan 909 orang bersama-sama menenggak racun sianida yang dioplos dengan jus rasa anggur, 30 persen korban tewas adalah bayi dan anak-anak. Tidak semua anggota People's Tempe rela bunuh diri. Ada indikasi sebagian korban dipaksa mati oleh pengikut Pendeta Jones yang berhaluan garis keras, dengan disuntik racun atau dicekik.
Ini adalah kematian dengan jumlah terbesar menimpa warga negara AS di luar negeri sepanjang sejarah. Tragedi itu juga merupakan insiden kematian terbanyak penduduk AS setelah serangan teror 11 September 2001.
Sumber : Merdeka.com
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya