11 Januari 2016

Hubungan Saudi-Iran Semakin Memburuk

Kedubes Arab Saudi di Iran dibakar massa. ©REUTERS
Olbinfo.com - Setelah Riyadh mengeksekusi mati ulama Syiah Nimr al-Nimr yang dinyatakan bersalah karena penghianatan akhir pekan lalu (2/1).Hubungan Saudi dan Iran memburuk. Pendukung Nimr merusak dan membakar kantor kedutaan Saudi di Teheran. Sebagai balasan, Saudi mengusir semua diplomat Iran dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Saudi juga menghentikan penerbangan dari dan menuju Iran.


Dunia cemas pecahnya kasus baru ini makin memicu konflik sektarian di kawasan Timur Tengah yang bisa berdampak secara global. Tak heran berbagai negara seperti AS, Perancis, Aljazair, Turki dan PBB telah meminta keduanya menahan diri dan bahkan Rusia menawarkan diri menjadi penengah.

Indonesia melalui Menlu secara responsif telah menghubungi Sekretaris Jenderal Organisasi Negara Islam (OKI), Menlu Arab Saudi, dan Menlu Iran. Indonesia telah menyampaikan keprihatinan dan meminta semua pihak bisa menahan diri dan Indonesia siap membantu mencari solusi terbaik agar tercipta kedamaian. Presiden Jokowi kepada MUI dikabarkan juga tengah menyiapkan upaya diplomasi untuk membantu meredakan ketegangan di kawasan tersebut.

Kesiapan Indonesia patut dihargai karena sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, ia tak bisa dan tak patut berdiam diri ketika konflik di kalangan negara-negara Islam pecah. Namun betapa pun berat beban atas predikat itu, kompleksitas persoalan yang berkelindan di seputar konflik Arab Saudi dan Iran harusnya tak mengurangi kecermatan dan kehatian-hatian kita dalam mendalami persoalan dan menawarkan solusi.

Pertama, sejarah telah memberi tahu kita bahwa karakter kawasan Timur Tengah dalam memandang konflik adalah zero sum game. Keuntungan atau kemenangan suatu pihak selalu akan dilihat sebagai kekalahan dan kerugian bagi yang lain. Setiap upaya pelebaran pengaruh akan dilihat oleh pihak lain sebagai usaha hegemoni kawasan. Lihat saja dalam kasus kesepakatan nuklir Iran, di mana Arab Saudi, Israel dan beberapa negara Arab lainnya memandangnya sebagai kekalahan mereka secara geopolitis. Karakter ini sangat penting untuk diperhatikan dalam solusi yang akan ditawarkan.

Kedua, seperti yang disebut oleh pengamat John Bell (Al Jazeera, 30/3/15) Arab Saudi dan Iran telah lama berebut pengaruh di kawasan dengan konflik geopolitik melalui proksi dan destabilisasi. Iran mempunyai pengaruh sangat dalam di Irak, Suriah dan Lebanon, sedang Arab Saudi kokoh pengaruhnya di Yaman, dan didukung oleh Bahrain, Mesir, Turki dan negara-negara Teluk lainnya.

Terkait faktor ini, solusi diplomatik perlu mencermati aspek geopolitik yang tepat termasuk peran negara-negara di luar kawasan seperti AS dan Rusia yang tentu mempunyai pengaruh signifikan. Faktor pertama dan kedua ini sangat berbahaya ramifikasinya secara regional dan global karena terbentuk atas dasar garis sektarian yaitu perbedaan Sunni-Syiah. Nampaknya pendekatan dialog dan soft power atas perbedaan sektarian ini dapat menjadi kunci penting untuk menjembatani kesenjangan sebagai solusi komplementer terhadap pendekatan yang bersifat politis dan keamanan semata.

Hal ini sangat penting diperhatikan karena Iran nampak sekali berusaha menempatkan dirinya sebagai pembela kepentingan Syiah global dan konstituennya makin besar ketika banyak kaum Syiah merasa terpinggirkan dan menderita terutama dengan keganasan ISIS.

Kita masih ingat Ulama Besar Syiah Ayatollah Ali-al Sistani di Iran pernah menghimbau umat Syiah untuk angkat senjata melawan pemberontak ISIS yang Sunni di Irak. Tak cukup berhenti di fatwa, Iran juga mengirim bantuan pasukan ke Irak sebanyak 2000 pasukan. Imbauan ini mengundang kecaman dari ulama Sunni seperti Syekh Yusuf Al Qaradawi dengan menyatakan bahwa fatwa sektarian Al Sistani bisa mendorong terjadinya perang saudara yang akan mencabik-cabik ikatan sosial dan kesukuan di Irak. Sementara itu Arab Saudi akan melihat respons Iran atas hal tersebut sebagi validasi persepsi mereka bahwa Iran memang suka campur tangan dalam urusan domestik negara lain.

Ketiga, konflik mutakhir yang dipicu eksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr oleh Arab Saudi nampaknya lebih mencerminkan ekpresi garis keras Arab Saudi terhadap persoalan dalam negerinya tanpa memperhatikan dampaknya secara internasional. Mahjoob al Zweiri dari Qatar University (Kuwait Times, 3/1) menyatakan bahwa Arab Saudi saat ini sedang menjalankan politik luar negeri yang proaktif dan tegas (assertive) meski tanpa memperhitungkan dampaknya secara teliti. Dengan kata lain, Arab Saudi saat ini sedang kalap karena persoalan-persoalan dalam negerinya sehingga mengurangi rasionalitas dalam kebijakannya. Jadi konflik ini perlu dilihat proporsionalitasnya pula.



Sumber : 
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya